Opini
PEDANG BERMATA DUA TRANSPARANSI
“Menganalisis Ancaman “Doxxing Ringan” dan Mitigasinya di Ruang Publik Digital”
Oleh: RD. Yohanis Elia Sugianto
(Imam Diosesan Amboina -Misionaris di Keuskupan Agung Merauke- Menyelesaikan Magister Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara-Jakarta)
Era digital lahir dengan janji transparansi. Keterbukaan informasi dianggap sebagai pilar utama demokrasi modern, memungkinkan pengawasan publik terhadap kekuasaan, akuntabilitas, dan diskursus yang lebih sehat.[1] Platform media sosial, dalam desain awalnya, dirancang untuk memfasilitasi keterbukaan ini, memungkinkan individu untuk berbagi identitas, pemikiran, dan afiliasi profesional mereka dengan dunia. Namun, janji utopis ini kini berhadapan dengan realitas distopis: transparansi itu sendiri telah menjadi senjata.
Kita menyaksikan munculnya fenomena yang dapat disebut sebagai “Weaponization of Transparency” atau “Doxxing Ringan”. Berbeda dari doxxing tradisional yang melibatkan penyebaran data privat yang diperoleh secara ilegal (seperti alamat rumah atau nomor KTP), “doxxing ringan” adalah praktik mengambil data yang tersedia secara publik dan sukarela, seperti almamater, atau unggahan media sosial lama dan kemudian mengagregasi, membingkai ulang, serta mengamplifikasinya dengan konteks jahat untuk mengintimidasi, mempermalukan, atau membungkam seseorang.[2]
Kasus viral #konspirasivestas di Indonesia kini menjadi studi kasus yang gamblang. Seorang individu, Salsa Erwina, yang vokal mengkritik kebijakan publik, mendapati identitas profesionalnya sebagai karyawan di perusahaan Vestas “dikuliti” oleh warganet.[3] Fakta publik bahwa Vestas memiliki MoU dengan PLN, anak usaha BUMN kemudian dibingkai ulang secara spekulatif untuk menuduh bahwa kritiknya bukanlah opini pribadi, melainkan bagian dari agenda bisnis tersembunyi perusahaannya.
Opini ini berargumen bahwa “doxxing ringan” bukanlah sekadar drama interpersonal di dunia maya, melainkan sebuah ancaman sosio-teknologi yang serius terhadap kesehatan ruang publik. Dengan mengeksploitasi arsitektur platform digital, praktik ini secara efektif meruntuhkan nalar diskursus, menciptakan efek mengerikan yang membungkam suara-suara kritis, dan pada akhirnya mendelegitimasi partisipasi sipil. Untuk melawannya, diperlukan respons multi-lapis yang melibatkan individu, platform, dan kerangka regulasi.
Runtuhnya Diskursus dan Pembungkaman Sipil
Ancaman yang ditimbulkan oleh “doxxing ringan” bersifat sistemik dan berlapis. Bahaya ini tidak hanya menimpa individu yang menjadi target, tetapi juga merusak ekosistem informasi dan wacana publik secara keseluruhan.
Pertama, “doxxing ringan” beroperasi melalui mekanisme “runtuhnya konteks”. Alice Marwick dan danah boyd mendefinisikan ini sebagai situasi di media sosial di mana audiens yang beragam (keluarga, teman, rekan kerja, orang asing) melebur menjadi satu “audiens imajiner” tunggal.[4] Dalam kasus “doxxing ringan”, konteks yang runtuh adalah antara identitas profesional dan identitas sipil. Ketika seorang individu berbicara sebagai warga negara, penyerang secara paksa menyeret identitas profesionalnya ke dalam debat. Akibatnya, individu tersebut tidak lagi dilihat sebagai pribadi dengan otonomi berpikir, melainkan direduksi menjadi “corong” perusahaan tempat ia bekerja.
Kedua, praktik ini adalah manifestasi sempurna dari serangan ad hominem yang diamplifikasi secara algoritmik. Logika debat publik bergeser dari “Apakah argumen Anda valid?” menjadi “Siapa Anda dan apa motif Anda?”. Dalam iklim media yang terpolarisasi, seperti yang dianalisis oleh Cass Sunstein, narasi yang memicu kecurigaan dan kemarahan seperti tuduhan “antek asing” atau “konflik kepentingan”, jauh lebih mudah menyebar daripada bantahan faktual yang kompleks.[5] Algoritma platform, yang dirancang untuk memaksimalkan engagement, secara tidak sengaja mempromosikan taktik kotor ini karena lebih banyak memicu reaksi. Hasilnya adalah erosi nalar publik; debat tidak lagi bertujuan mencari kebenaran, melainkan untuk menghancurkan kredibilitas lawan bicara.
Ketiga, dan mungkin yang paling berbahaya, adalah terciptanya “efek mengerikan” yang meluas. Fenomena ini, yang awalnya didiskusikan dalam konteks pengawasan negara, kini berlaku dalam konteks pengawasan sosial (lateral surveillance).[6] Ketika para profesional, akademisi, atau pakar di bidangnya melihat rekan mereka “dikuliti” secara public, di mana tempat kerja mereka ikut diserang dan reputasi profesional mereka dipertaruhkan, mereka akan melakukan swa-sensor. Mereka akan memilih diam daripada mengambil risiko karier mereka untuk berpartisipasi dalam wacana publik. Daniel J. Solove, dalam The Future of Reputation, memperingatkan bahwa jejak digital yang abadi dan mudah dicari ini menciptakan penjara reputasi.[7]Konsekuensinya adalah pengosongan ruang publik dari suara-suara ahli yang kritis, menyisakan hanya mereka yang anonim atau mereka yang memiliki agenda politik yang jelas.
Keempat, ini menciptakan budaya panoptikon digital di mana warga saling mengawasi. Michel Foucault berteori bahwa panoptikon bekerja dengan membuat individu merasa terus-menerus diawasi, sehingga mereka menginternalisasi disiplin dan mengatur perilaku mereka sendiri.[8] Dalam “doxxing ringan”, mob (kerumunan) di media sosial menjadi penjaga panoptikon tersebut. Transparansi profesional di LinkedIn, yang seharusnya menjadi aset karier, diubah menjadi liabilitas (beban) yang dapat digunakan untuk menghukum siapa saja yang dianggap “menyimpang” dari norma atau pandangan mayoritas.
Menuju Transparansi yang Berintegritas
Ancaman yang kompleks ini tidak dapat diselesaikan dengan satu solusi tunggal. Mitigasi harus dilakukan secara kolektif pada tiga level: individu, platform, dan regulasi.
Di level individu, responsnya adalah literasi digital kritis dan manajemen identitas strategis. Ini melampaui nasihat klise “berpikir sebelum mengunggah”. Individu, terutama mereka yang berada di posisi profesional, perlu memahami bahwa context collapse adalah fitur, bukan bug, dari media sosial saat ini. Mereka perlu secara strategis mengelola jejak digital mereka, mungkin dengan memisahkan akun profesional dan personal, atau menggunakan tingkat privasi yang lebih granular. Namun, yang lebih penting adalah literasi di sisi konsumen informasi. Publik perlu dididik untuk secara kritis membedakan antara serangan ad hominem dan kritik substantif.
Di level platform, tanggung jawab arsitektural sangat besar. Platform media sosial adalah arsitek dari ruang di mana “doxxing ringan” terjadi. Tarleton Gillespie menyebut platform sebagai “penjaga” internet yang keputusan desainnya memiliki konsekuensi politik yang sangat besar.[9] Platform harus berbuat lebih banyak. LinkedIn, misalnya, dapat memberikan kontrol yang lebih baik kepada pengguna tentang bagaimana profil mereka dapat dilihat atau ditautkan oleh non-koneksi. Platform diskusi seperti twitter harus memperbaiki algoritmanya untuk tidak hanya mendeteksi data privat (doxxing tradisional), tetapi juga mendeteksi perilaku pelecehan terkoordinasi yang menggunakan data publik. Fokusnya harus bergeser dari data yang diunggah ke perilaku penyerangan yang terkoordinasi.
Di level regulasi dan hukum, kita menghadapi wilayah abu-abu. Karena data yang digunakan bersifat publik, undang-undang pencemaran nama baik atau perlindungan data pribadi (seperti UU PDP di Indonesia) seringkali tidak dapat diterapkan secara langsung. Tantangannya adalah bagaimana merumuskan regulasi yang melindungi individu dari “agregasi jahat” tanpa memberangus kebebasan berbicara atau jurnalisme investigasi.
Solusinya mungkin terletak pada konsep “integritas kontekstual” yang diajukan oleh Helen Nissenbaum. Nissenbaum berargumen bahwa privasi bukanlah soal kerahasiaan, melainkan soal aliran informasi yang sesuai dengan konteksnya.[10] “Doxxing ringan” adalah pelanggaran integritas kontekstual yang gamblang: data dari konteks profesional (LinkedIn) diekstraksi secara paksa dan disebarkan dalam konteks debat politik (Twitter) untuk tujuan menyerang. Kerangka hukum di masa depan harus dapat mengenali “pelanggaran kontekstual yang berbahaya” ini sebagai bentuk pelecehan, bahkan jika data yang digunakan awalnya bersifat publik.
“Weaponization of Transparency” adalah paradoks kelam di era digital. Transparansi, yang dimaksudkan untuk menjadi alat pembebasan dan akuntabilitas, telah dibajak menjadi alat penindasan dan pembungkaman. Bahaya latennya jelas: matinya diskursus publik yang sehat, mundurnya para ahli dari ruang publik, dan terciptanya iklim ketakutan yang merusak fondasi demokrasi partisipatif.
Kita tidak bisa kembali ke era pra-digital yang penuh kerahasiaan. Solusinya bukanlah mengakhiri transparansi, tetapi menyelamatkannya dari eksploitasi jahat. Ini menuntut kita untuk menjadi warga digital yang lebih kritis, menuntut platform untuk menjadi arsitek yang lebih etis, dan mendorong legislator untuk memahami bahwa dalam dunia digital, konteks adalah segalanya. Pertarungan ini bukan hanya tentang melindungi reputasi individu, tetapi tentang melindungi hak kolektif kita untuk berbicara, berdebat, dan berpartisipasi dalam wacana publik tanpa takut dihancurkan secara personal.
Daftar Pustaka
Brin, David. The Transparent Society: Will Technology Force Us to Choose Between Privacy and Freedom?New York: Basic Books, 1998.
Douglas, David. “Doxxing: A Conceptual Analysis.” Ethics and Information Technology 18, no. 3 (2016).
Foucault, Michel. Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Diterjemahkan oleh Alan Sheridan. New York: Pantheon Books, 1977.
Gillespie, Tarleton. Custodians of the Internet: Platforms, Content Moderation, and the Hidden Decisions That Shape Social Media. New Haven: Yale University Press, 2018.
Marwick, Alice E., dan danah boyd. “I Tweet Honestly, I Tweet Passionately: Twitter Users, Context Collapse, and the Imagined Audience.” New Media & Society 13, no. 1 (2011).
Nissenbaum, Helen. Privacy in Context: Technology, Policy, and the Integrity of Social Life. Stanford: Stanford University Press, 2009.
Penney, Jon. “Chilling Effects: Online Surveillance and Wikipedia Use.” Berkeley Technology Law Journal31, no. 1 (2016).
Solove, Daniel J. The Future of Reputation: Gossip, Rumor, and Privacy on the Internet. New Haven: Yale University Press, 2007.
Suara.com. “Vestas Perusahaan Apa? Kerja Sama dengan PLN NP, Ternyata Tempat Kerja Salsa Erwina.” Dipublikasikan 27 Oktober 2025.
Sunstein, Cass R. #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media. Princeton: Princeton University Press, 2017.
[1] Brin, David. The Transparent Society: Will Technology Force Us to Choose Between Privacy and Freedom? (New York: Basic Books, 1998).
[2] Douglas, David. “Doxxing: A Conceptual Analysis.” Ethics and Information Technology 18, no. 3 (2016): hlm. 199–210.
[3] Suara.com. “Vestas Perusahaan Apa? Kerja Sama dengan PLN NP, Ternyata Tempat Kerja Salsa Erwina.” Dipublikasikan 27 Oktober 2025.
[4] Marwick, Alice E., dan danah boyd. “I Tweet Honestly, I Tweet Passionately: Twitter Users, Context Collapse, and the Imagined Audience.” New Media & Society 13, no. 1 (2011): hlm. 114–33.
[5] Sunstein, Cass R. #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media. Princeton: Princeton University Press, 2017.
[6] Penney, Jon. “Chilling Effects: Online Surveillance and Wikipedia Use.” Berkeley Technology Law Journal 31, no. 1 (2016): hlm. 117–82.
[7] Solove, Daniel J. The Future of Reputation: Gossip, Rumor, and Privacy on the Internet (New Haven: Yale University Press, 2007).
[8] Foucault, Michel. Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Terj. Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977).
[9] Gillespie, Tarleton. Custodians of the Internet: Platforms, Content Moderation, and the Hidden Decisions That Shape Social Media (New Haven: Yale University Press, 2018).
[10] Nissenbaum, Helen. Privacy in Context: Technology, Policy, and the Integrity of Social Life (Stanford: Stanford University Press, 2009).

